CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, 16 Juni 2009

Teknologi GTL

Kenaikan harga minyak mentah, net oil importer, kenaikan harga BBM dan pembengkakan subsidi merupakan pemberitaan yang hangat dibahas di media massa kita akhir-akhir ini. Pembahasan ini menunjukkan bahwa minyak bumi memang masih menjadi ‘idola’ sebagai sumber penyedia energi terbesar di negeri ini. Tingginya konsumsi masyarakat akan BBM, tidak mampu diimbangi oleh produksi dan ketersediaan cadangan minyak bumi yang ada di perut bumi negara kita. Sebagai dampak dari konsumsi BBM tersebut adalah tingginya tingkat pencemaran lingkungan melalui emisi yang dihasilkan, seperti CO2, NOx, SOx, dll. Hal ini terkait langsung dengan isu dunia mengenai pemanasan global sebagai akibat dari efek rumah kaca. Sebagai bangsa yang dianugerahi oleh beragam SDA, sudah saatnya bagi bangsa ini untuk mulai ‘melirik’ SDA lain, seperti gas alam, untuk diolah sehingga dapat mengurangi ‘porsi’ minyak bumi, baik sebagai sumber energi maupun bahan baku industri lainnya. Untuk itu, diversifikasi dan penguasaan teknologi merupakan yang faktor penting disamping kesadaran akan kelestarian lingkungan. Teknologi Gas-To-Liquid (GTL) merupakan salah satu teknologi yang saat ini tengah berkembang di dunia karena kemampuannya dalam mengolah gas alam guna menghasilkan bahan bakar cair sintetis yang mirip dengan produk-produk turunan minyak bumi, bahkan dengan kualitas yang lebih baik.
Teknologi Gas-To-Liquid (GTL)

Perkembangan teknologi GTL di dunia saat ini telah mencapai tahap komersial. Beberapa pemegang paten seperti Sasol Ltd., Shell, ExxonMobil, Rentech Inc., Syntroleum Corp., JNOC, dll, telah berhasil mengoperasikan kilang-kilang GTL di berbagai penjuru dunia seperti Nigeria, Mesir, Argentina, Qatar, Iran, Malaysia, dan Australia. Produk yang dihasilkan dari teknologi GTL ini meliputi: naphtha, middle distillates, dan lilin (waxes), namun dapat juga di arahkan ke produk dimetil eter (DME), dan metanol. Dari beberapa produk GTL tersebut, middle distillates (diesel dan bahan bakar jet) dapat mengganti langsung diesel berbasis minyak bumi yang digunakan selama ini dalam mesin diesel (compression ignition engines). Produk samping yang dihasilkan berupa hidrokarbon ringan (tail gas) masih dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga (power generation), sedangkan hidrogen dapat diolah lanjut menjadi pupuk/urea atau dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam merancang kilang GTL terintegrasi (lihat Gambar 1).

Dengan teknologi GTL, cadangan gas sebesar 1 TCF (Trillion Cubic Feet) dapat menghasilkan produk GTL berupa bahan bakar sintetis (diesel dan naphtha) sebesar 10,000 barrel/hari selama 30 tahun, dengan asumsi laju alir umpan gas alam sebesar 100 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day). Data terakhir BP Statistics mencatat jumlah cadangan gas Indonesia tahun 2002 sebesar 92.5 TCF; dengan demikian kita dapat menghitung sendiri berapa barrel/hari diesel dan naphtha yang dapat diproduksi guna mengurangi impor BBM (solar) yang selama ini dilakukan.

Gambar 1. Skema Teknologi Gas-To-Liquid (GTL) terintegrasi. (Sumber: Sasol, Ltd)

Tahapan proses dari teknologi GTL ini adalah: tahap pemurnian gas (gas purification), proses pembuatan gas sintesis (synthesis gas process), proses Fischer-Tropsch (Fischer-Tropsch process), dan tahap peningkatan kualitas produk (product upgrading).
Tahapan Pemurnian Gas (Gas Purification)
Pada tahap ini, gas alam yang keluar dari sumur dibersihkan dari senyawa-senyawa yang dapat mengganggu jalannya proses selanjutnya. Senyawa-senyawa tersebut diantaranya : H2S, CO2, H2O, dll. Teknologi komersial yang dapat digunakan diantaranya proses absorpsi menggunakan pelarut tertentu, misalnya : MEA (monoetanolamin), DEA (dietanolamin), dan TEG (trietilen glikol).
Tahapan Pembuatan Gas Sintesis (Synthesis Gas Process)
Pada tahapan ini, gas alam yang telah dibersihkan, direaksikan sehingga menghasilkan gas sintesis. Gas sintesis atau SynGas adalah istilah yang diberikan kepada campuran gas karbonmonoksida (CO) dengan hidrogen (H2) yang digunakan untuk mensintesis berbagai macam zat seperti metanol dan ammonia. Proses pembuatan gas sintesis yang telah komersial adalah: proses steam reforming, oksidasi parsial, dan CO2 reforming.
Tahapan Reaksi Fischer-Tropsch (Fischer-Tropsch Process)
Reaksi Fischer-Tropsch (FT) merupakan tahapan reaksi yang paling penting dalam teknologi GTL. Pada tahap reaksi FT ini, gas sintesis dikonversi menjadi hidrokarbon rantai panjang. Jenis katalis, jenis reaktor, rasio H2/CO, dan kondisi operasi merupakan faktor yang menentukan jenis produk yang dihasilkan.


Reaksi FT keseluruhan secara umum :
(1): nCO + mH2 -> C1 – C40- (alkana) + H2O
(2): nCO + mH2 -> C1 – C40- (alkena) + ½n CO2

Keterangan: harga n dan m sangat bergantung pada metode pembuatan gas sintesis dan jenis bahan baku yang digunakan, misalnya: rasio H2/CO gas bumi = 1.8-2.3, batubara = 0.6-0.8.

Jenis katalis yang banyak digunakan adalah katalis berbasis kobalt (Co) dan besi (Fe). Jenis reaktor FT yang digunakan misalnya terdiri dari reaktor slurry, fixed bed, dan fluidized. Reaktor-reaktor tersebut dioperasikan pada rentang suhu antara 149°C-371°C dengan tekanan antara 0.7-41 bar.
Tahapan Peningkatan Kualitas Produk (Product Upgrading)
Tahap ini merupakan tahap untuk mendapatkan produk sesuai jenis dan spesifikasi yang diinginkan. Proses yang digunakan merupakan proses yang telah digunakan secara komersial pada kilang-kilang minyak umumnya, seperti: proses catalytic reforming, fluid catalytic cracking, isomerisasi, alkilasi, dll.
Kualitas Lebih Baik dan Ramah Lingkungan

Semakin tingginya perhatian dunia akan kelestarian lingkungan membuat semakin ketatnya regulasi-regulasi yang dibuat berkaitan dengan spesifikasi bahan bakar. Produk GTL, khususnya diesel, telah terbukti memiliki karakteristik yang lebih baik bila dibandingkan dengan diesel yang dihasilkan dari minyak bumi (lihat Tabel 1); di samping itu diesel GTL juga lebih ramah lingkungan karena mampu mereduksi emisi dari gas buang yang dihasilkan. Reduksi emisi yang dihasilkan untuk hidrokarbon (HC), karbonmonoksida (CO), NOx, dan partikulat masing-masing sebesar: 16%, 29%, 14%, dan 46%. Fraksi nafta yang dihasilkan dari kilang GTL memiliki angka oktan RON 40 (perbandingan: nafta dari minyak bumi memiliki angka oktan RON 50), sehingga tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar gasoline (premium), namun sangat baik sebagai bahan baku petrokimia terutama untuk memproduksi etilen. Kerosin yang dihasilkan juga memiliki karakteristik yang baik karena memiliki kandungan sulfur yang rendah serta smoke point sekitar 45 mm (perbandingan: kerosin dari minyak bumi memiliki smoke point sekitar 20 mm).
Tabel 1. Perbandingan spesifikasi diesel GTL dan diesel konvensionalSpesifikasi Unit Diesel Konvensional (Minyak Bumi) Sasol GTL Diesel Shell GTL Diesel
Massa Jenis, 15°C g/cm3 0.83 0.78 0.78
Viskositas cSt 2.0 - 4.1 2.0 2.8
Sulfur ppm > 350 < 5 < 3
Aromatik % volume > 10 < 3 < 0.1
Cetane Number 45 - 50 73 80
Sumber: Yuji Morita, IEEJ, November 2001

Keunggulan Lain

Selain lebih baik dalam hal karakteristik, teknologi GTL ini juga memiliki keunggulan karena dapat diaplikasikan tidak hanya pada sumur gas yang memiliki cadangan besar, tetapi juga pada sumur-sumur gas kecil/marjinal (stranded gas). Teknologi GTL dapat diterapkan pada sumur gas dengan cadangan 1-3 TCF (bandingkan dengan LNG yang membutuhkan sumur gas dengan cadangan 6-8 TCF). Disamping itu, dengan biaya investasi yang relatif sama dengan pembangunan kilang lainnya, kilang GTL mampu memberikan pendapatan yang relatif lebih besar per tahunnya (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Perbandingan biaya investasi dan pendapatan per tahun beberapa teknologi gas
(Umpan Gas = 100 MMSCFD) Produksi Pendapatan/Tahun
(Juta USD) Biaya Investasi
(Juta USD)
Bahan Bakar GTL 10,000 barrel/hari 145* 400
Gas melalui pipa 100 MMSCFD 110 250
LNG 100 MMSCFD 110 > 600
Metanol 3,000 ton/hari 220 475
NH3/Urea 3,100 ton/hari 180 485
Pembangkit Listrik 550 MW 138 415
* termasuk penjualan listrik yang dihasilkan (Sumber : Rentech, Inc.)

Penutup

Setelah menjadi produsen terbesar LNG, Indonesia, dengan cadangan gas terbesar (92.5 TCF) di Asia Pasifik dan Asia Tenggara, memiliki peluang besar untuk menerapkan teknologi GTL. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan kebijakan yang mendukung serta SDM yang berkemauan untuk alih teknologi.

0 komentar: